SERI REFLEKSI APRIL-JUNI 2023

Horas!

Aku belajar dan merefleksikan banyak makna baru dalam studi PhDku, terutama tentang topik kearifan dalam organisasi, studi manajemen kritis, kearifan adat, dan keberlanjutan ekologis. Belajar menikmati kesendirian (bukan kesepian) dalam berpikir dan menulis selama studi PhD. Belajar juga menulis di media populer untuk menyebarkan gagasan.

Pertama,

Kata pembimbing S3ku, menulis itu lebih baik to the point, simple, dan stupid (mengasumsikan pembaca tidak tahu topik apa yang kita diskusikan). Menulis dari sudut pandang pembaca akan memudahkan mengomunikasikan gagasan.

Kedua,

Kerja intelektual itu mungkin seperti berada dalam roller coaster. Satu waktu kita berteriak eureka! ketika berhasil memperoleh ilham dan mengembangkan ide. Kita bahagia. Satu waktu lagi ide kita itu diuji atau didekonstruksi sehingga kita merasa tidak nyaman. Tegangan antara stabilitas dan perubahan inilah yang membuat kita hidup.

Ketiga

Dalam menjalani kehidupan akademik dan publik, perubahan dapat terjadi jika kita berani memberikan tesis (proposisi yang dihasilkan dari proses mengkritisi asumsi-asumsi yang diterima apa adanya), membuka diri dan siap mendiskusikan antitesis (kritik orang lain terhadap proposisi), dan akhirnya bersama-sama membangun sintesis (kebenaran baru). Inilah hidup yang dialektis. 

Keempat,

Aku belajar ada tiga hal krusial dalam riset dan publikasi manajemen berkualitas: pertanyaan riset berkualitas melalui teknik problematisasi, desain metodologi yang menghormati pemilik data, dan kontribusi teoretis yang kuat. Masih panjang jalanku untuk bisa mencapai ini. 

Kelima,

Tips problematisasi: mulai dari masalah dunia nyata yang menggelisahkanmu. Petakan masalah tersebut dan pertanyakan terus-menerus mengapa masalah itu muncul. Temukan proksi-proksi (variabel) yang bisa mewakili sebagai alat mengeksplorasi masalah tersebut. Lakukan pendalaman dan kritisisme teori dan meta-teori yang menaungi proksi-proksi tersebut. Aku pun masih terus berusaha melakukan tips ini.

Ketujuh,

Ada dua profil yang kuyakini sangat dibutuhkan untuk berkontribusi pada dunia yang lebih baik: Pemikir Kritis dan Pemimpin Arif. Aku berkomitmen bahwa TIDAK ADA JALAN PINTAS untuk menjadi PEMIKIR YANG KRITIS dan PEMIMPIN YANG ARIF! Harus bersedia berproses, berlatih, dan berjuang habis-habisan.

Kedelapan,

Semua hal punya waktunya (timing). Apapun keputusan di semesta ini ada timing-nya masing-masing, baik keputusan alam maupun keputusan manusia. Kita perlu mengasah kepekaan dan nurani untuk menyadari timing-timing tersebut. 

Kesembilan,

Hentikan bahasa-bahasa floris, puja-puji berlebihan! Ini tidak menumbuhkan budaya intelektual.

Kesepuluh,

Kita butuh energi besar untuk terus berdialektika dengan kepala dingin. Diskusi adalah bagian dialektika. Utarakan saja idemu dengan argumentatif-kritis, artikulatif, dan kalau bisa, estetik. Juga, tidak perlu paksa orang untuk setuju denganmu. Keberagaman yang membuat kita tumbuh secara intelektual, bukan penyeragaman.

Kesebelas,

Apakah manusia dikalahkan kecerdasan buatan (AI)? Tergantung. Ada banyak masalah besar dunia: ketimpangan, kerusakan lingkungan, dll. Apakah AI bisa menyelesaikan masalah tersebut dalam tindakan? Maka, tujuan kita hari ini (seharusnya) adalah menjadi pemecah masalah dunia tersebut dengan kritis dan arif. Kurikulum pendidikan harusnya diorientasikan untuk bersama-sama terlibat menyelesaikan masalah besar ini dengan riset berperspektif kritis dan tindakan arif di lapangan.

Keduabelas,

Dosen adalah buruh pengetahuan. Pengetahuan tidak hanya diproduksi di kantor kampus, tetapi bahkan mungkin lebih banyak di luar gedung kampus. Seharusnya memang lebih banyak berdinamika di luar gedung kampus. Presensi ketat dosen di gedung kampus itu ide yang absurd. Selain itu, kampus juga harusnya mengabdi ke kepentingan masyarakat sipil dan kelestarian lingkungan hidup, bukan kekuasaan dan korporasi!

Ketigabelas,

Ada dua cara menarik mengkomunikasikan konsep yang kompleks: melalui metafora dan gambar diagram/kerangka alir. Metafora dapat mewakili pemikiran bawah sadar kita. Penggunaan metafora dalam interaksi pengetahuan menarik sekali dipelajari.

Keempatbelas,

Ada banyak narasi yang menggunakan metafora di organisasi dan manajemen. Dalam organisasi, ada metafora 'mesin'. Ini bahaya karena menanggap manusia adalah robot. Metafora ini dari fisika, teknik rekayasa, cocok untuk dunia yang stabil. Masalahnya, dunia adalah tempat yang kompleks. Kompleksitas masalah hanya bisa direspon dengan metafora kompleks dan organik: meminjam dari biologi, ekologi, dan lingkungan hidup yang memang organik, kompleks. Kearifan ekologi adat (indigenous) menyediakan banyak sekali metafora yang berguna untuk merespon dunia yang kompleks.

Kelimabelas,

Peneliti boleh salah, tetapi tidak boleh bohong. Peneliti adalah gabungan dari keingintahuan dan antusiasme. 


Aku juga menonton salah satu video refleksi Yanuar Nugroho, seorang peneliti dan aktivis yang pikiran-pikirannya kukagumi dalam tautan berikut: https://www.youtube.com/watch?v=pM9SaZbCL_A. Aku tuliskan kutipan-kutipan langsung dari video tersebut yang sangat berkesan untukku.

Pertama,

Di bawah kolong langit ini tidak ada sepenuhnya takdir, atau sepenuhnya kehendak bebas manusia. Situasi yang disebut takdir itu sesungguhnya membentuk dan sekaligus terbentuk dari apa yang diklaim manusia sebagai kehendak bebas.

Kedua,

Kita seharusnya memahami dualitas, menghidupi tegangan. Yang lebih mudah adalah dualisme, memilih salah satu karena otak manusia lebih mudah memahami dengan pendekatan ini atau itu. Lebih susah memahami dan menjelaskan dua hal yang berlawanan ini dan itu. Ada tegangan di situ. Dan konsekuensinya kita akan terus gelisah dalam tegangan. Hidup manusia adalah tegangan abadi. Manusia sejati adalah yang menghidupi tegangan itu, bukan memilih salah satu di antaranya. Kegelisahan itulah yang membuat kita nantinya tidak hanya semakin berpengetahuan, tetapi semakin bijak. Tidak ada solusi permanen, yang ada hanyalah penyelesaian sementara.

Ketiga,

Remuknya hidup bersama di republik ini, di negeri ini, hari-hari ini adalah karena kegagalan menghidupi tegangan dualitas antara gagasan dan kepentingan. Ruang bagi gagasan makin sempit tergencet oleh kepentingan semata-mata. Akibatnya, nyaris seluruh interaksi sosial-ekonomi-politik-budaya kita makin tidak menempatkan pentingnya gagasan, tapi dalam bahaya besar menjadi sekadar transaksional untuk mengejar dan mengamankan kepentingan.

Kelima,

Yesus adalah dualitas Tuhan dan manusia, yang Ilahi dan yang manusia. Tangannya terentang antara langit dan bumi, antara idealisme dan realitas. Yesus menjalani tegangan itu. Untuk menjadi makin ilahi, harus makin dalam terlibat di dunia. Mau dekat dengan Allah? Layanilah manusia khususnya yang termajinalkan. Mau masuk surga? Terlibatlah dalam berbagai persoalan di dunia. Kamu mau takdirmu baik? Latihlah dirimu dengan memilih tindakan-tindakan yang baik. Kamu mau intim dengan Allah dengan kontemplasi? Beraksilah sepenuh hati. Kesucian surga hadir dalam remuk redam dunia. Hidup adalah tegangan abadi dualitas. 

Mauliate, Horas!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SERI REFLEKSI #5/2021: WHAT DOESN'T KILL YOU MAKES YOU STRONGER (NIETZSCHE)

SERI REFLEKSI #04/2021: BERTOLAKLAH KE TEMPAT YANG LEBIH DALAM DAN TEBARKAN JALAMU!