Medan: Rumah Kita?
Medan:
Rumah Kita?
Janji dan harapan Walikota Medan Dzulmi Eldin
seperti dimuat dalam berita online
medan.tribunnews.com ed. Kamis, 30 Juni 2016 pada HUT Medan yang ke 426 sangat jelas mengindikasikan bahwa masih
begitu kompleksnya permasalahan kota yang didirikan oleh Guru Patimpus ini
walaupun umurnya sudah tidak bisa lagi dikatakan muda.
Masalah-masalah tersebut diantaranya penataan Pedagang
Kaki Lima (PKL) yang belum tuntas dikerjakan, pembenahan transportasi publik,
penertiban reklame , pungutan liar yang merajalela, perbaikan infrastruktur
jalan, masalah banjir, Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang belum mencapai 30% sesuai
dengan amanat Undang-Undang Tata Ruang, transparansi anggaran hingga
implementasi konsep smart city yang
masih terkatung-katung. Melihat berbagai permasalahan diatas, kita harus jujur
mengakui bahwa kota Medan ini belum layak disebut sebagai Rumah Kita.
House
dan Home
Istilah “Medan, Rumah Kita” adalah
jargon kampanye yang dipergunakan oleh Walikota dan Wakil Walikota yang
memerintah sekarang dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak beberapa
bulan silam. Saya mencoba memaknai istilah “rumah” dari istilah Bahasa Inggris.
Ada dua kata dalam bahasa Inggris yang bersinonim dengannya yaitu “House” dan “Home”. Dua istilah ini walaupun jika diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia adalah “rumah”, namun sebenarnya mempunyai makna yang berbeda.
Kata “House” merujuk pada pengertian rumah secara fisik. Namun, kata “Home” lebih menunjuk pada pengertian
rumah secara emosi/perasaan. Kata ini erat hubungannya dengan keluarga ataupun
komunitas. Kita tidak pernah mendengar kalimat “Broken House”, melainkan yang ada “Broken Home”. Begitu juga dengan “Home Sweet Home”, bukan “House
Sweet House”. “Home”
mengindikasikan adanya perasaan sukacita, damai, kasih, dan ketentraman yang menyebabkan orang ingin
tinggal didalamnya. “Home” dibangun untuk tempat tinggal kita
dan bangunan ini memberikan kenyamanan, keamanan dan membawa kebahagiaan
tersendiri pada kehidupan kita.
Saya sangat yakin bahwa pemaknaan
istilah “rumah” yang tepat untuk jargon pembangunan yang diusung oleh walikota
dan wakilnya sekarang adalah “Home”.
Namun, kita perlu merefleksikan kembali kondisi kota yang kita sebut “Home” ini. Apakah Medan pantas disebut
rumah ketika diantara kita ,keluarga besar penghuni kota ini, tidak ada
keterbukaan soal anggaran dan realisasi dana program? Apakah Medan disebut “Home” ketika berangkat pergi atau pulang
kerja, kita selalui dihantui kemacetan? Apakah Medan pantas disebut “Home” ketika terjadi kemacetan akibat sarana
transportasi publik tak memadai yang contohnya ketika angkot menaikkan dan
menurunkan penumpang dengan sembarangan? Apakah Medan cocok disebut “Home” ketika Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Medan
hanya 10% padahal Undang-Undang No.26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang telah
mengamanatkan bahwa perkotaan harus memiliki luas RTH sedikitnya 30%? Apakah
Medan pantas disebut “Home” ketika drainase tidak berfungsi sehingga
terjadi banjir terus-menerus ketika musim penghujan datang? Apakah pantas
disebut “Home” ketika pungutan liar,
bentrok OKP, serta aksi-aksi premanisme masih terus terjadi?
Kemana semua Aparatur Sipil Negara (ASN) yang
dibiayai oleh uang rakyat dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya? Apakah
tidak mempunyai gairah dan etos kerja lagi dalam usaha memperbaiki kota ini
untuk menjadi rumah yang lebih layak dihuni? Apakah sebatas hanya ongkang-ongkang kaki di kantor ,makan
gaji buta, atau datang lebih awal dan pulang lebih cepat dari kantor? Kemana
semua anggota DPRD Kota Medan dalam fungsinya membuat regulasi ketika
hanya hanya 2 ranperda (Rancangan
Peraturan Daerah) yang selesai dari 26 ranperda yang masuk dalam Program
Legislasi Daerah tahun 2016? Dimana semua LSM, Ormas dan OKP yang fungsi
seharusnya melakukan kontrol sosial? Apakah hanya sibuk “memakan” dana bantuan
sosial dengan membuat LSM fiktif hingga diperiksa oleh Kejaksaan Agung? Dimana
mahasiswa-mahasiswa kota Medan yang mengklaim diri sebagai agen perubahan?
Jangan-jangan, mahasiswa yang harusnya diubah dari mental pemalas dan sifat
individualismenya, bukan malah menjadi agen perubahan.
Etos Kerja yang Bermasalah
Saya percaya bahwa kunci untuk mengubah
kota yang kita huni ini menjadi “Home”
adalah terlebih dahulu memperbaiki mental kita. Mental yang saya maksud
terutama adalah etos kerja sebab kalau bicara konsep, bukan tidak banyak kajian
yang sudah di buat dalam upaya memperbaiki kota ini, namun kita sangat lemah
dalam mengeksekusi karena etos kerja kita rendah. Dalam etos kerja,sebenarnya
terkandung semangat atau gairah yang amat kuat untuk mengerjakan sesuatu secara
optimal dan bahkan berupaya untuk mencapai kualitas kerja yang sesempurna mungkin.
Tentunya hasil dari kualitas kerja yang maksimal ini adalah untuk kepentingan
rakyat banyak. Namun, saya sepakat dengan Mochtar Lubis dalam bukunya Manusia
Indonesia (1977) bahwa etos kerja orang Indonesia: (a) munafik atau hipokrit: suka
berpura-pura, lain dimulut lain di hati; (b) enggan bertanggungjawab: suka
mencari kambing hitam; (c) berjiwa feodal: gemar upacara, suka dihormati
daripada menghormati dan lebih mementingkan status daripada prestasi; (d)
percaya takhayul: gemar hal keramat, mistis dan gaib; (e) berwatak lemah:
kurang kuat mempertahankan keyakinan, plin-plan, dan gampang terintimidasi. Ini
membuat kita, keluarga besar penghuni kota Medan mulai dari Pemko, DPRD,
LSM/Ormas/OKP, mahasiswa dan lain-lain, sulit bergerak maju untuk membuat kota
ini menjadi betul-betul “Home”. Kita
mengidap penyakit mental akut.
Rekomendasi
Pertama, kita harus menyadari bahwa
budaya birokrasi kita masih sangat paternalistik. Oleh karena itu, untuk
memulai perubahan memang harus dimulai dari pemimpin tertinggi kota ini dengan
menunjukkan keteladanan etos kerja yang tinggi; bukan hanya membuka dan menutup
acara seremonial belaka. Saya kira Pak Walikota dan Wakilnya tidak perlu gengsi
untuk meniru para pemimpin daerah ber-etos kerja tinggi seperti Ahok di DKI
Jakarta, Ridwan Kamil di Bandung, Tri Rismaharini di Surabaya, Yoyok di
Kabupaten Batang dan masih banyak lagi. Lihatlah, dengan etos kerja yang
tinggi, mereka begitu dicintai rakyatnya.
Kedua, anggota DPRD yang sudah
dipilih juga oleh rakyat harus ber-etos kerja yang tinggi supaya target Perda
dapat dicapai. Kota Medan akan menjadi “Home”
jika regulasi-regulasi yang positif dihasilkan sesuai target. Ketiga,
LSM/Ormas/OKP harus berhenti hanya memakan dana bantuan sosial tanpa melakukan
fungsinya. Buktikan etos kerja mu dengan melakukan edukasi terhadap masyarakat
supaya terlibat aktif mengawasi pembangunan. Hentikan semua kebohongan bermodus
LSM fiktif ataupun aksi-aksi premanisme. Terakhir, mahasiswa harus membuktikan
etos kerjanya dengan menghidupi kembali fungsi ideal sebagai mahasiswa. Jargon
“agen perubahan” tidak boleh hanya manis dimulut saja. Mari sama-sama
mengerjakan bagian kita masing-masing supaya Medan, benar-benar Rumah Kita.
Komentar
Posting Komentar